Jakarta, MITRAJATIM.COM – Ulang tahun ke-52 Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) yang jatuh pada hari ini, 21 Mei 2025, mendapat kado yang memilukan. Alih-alih memperbaiki kesejahteraan nelayan yang selama ini terpinggirkan, namun para nelayan harus terombang-ambing dalam dualisme kepengurusan HNSI dan menonton para elit politik berebut legalitas demi kursi dan gengsi.
Persoalan bermula dari manuver politik di ujung masa jabatan Yasonna H. Laoly sebagai Menteri Hukum dan HAM. Tepatnya pada 10 November 2023, ia menerbitkan SK AHU-0001561.AH.01.08 yang mengesahkan Munas HNSI Bali dengan Herman Herry Adranacus —sesama kader PDIP — sebagai ketua umum. Padahal, hanya enam hari sebelumnya, SK AHU-0001530.AH.01.08 telah lebih dahulu dikeluarkan untuk Munas HNSI Bogor yang dipimpin Laksamana (Purn) Sumardjono, berdasarkan hasil keputusan mayoritas DPD dan sesuai AD/ART organisasi.
Ditemui di Jakarta, Selasa
20/5, Sekjen HNSI Munas Bogor, Dr Anton Leonard mengatakan, tindakan ini jelas menimbulkan dualisme organisasi, membuat para pengurus di daerah bingung dan yang paling menderita tentu saja para nelayan.
Anton menyebut, Munas Bogor lahir dari keresahan mayoritas DPC HNSI (Pimpinan cabang di Kabupaten dan Kota) sejak Januari 2023 serta keresahan beberapa DPD HNSI (Pimpinan Daerah Provinsi). HNSI sempat mangkrak selama hampir 15 tahun dibawah kepemimpinan Mayjen (Purn) Yussuf Solichein. Tak ada regenerasi, tak ada program kerja terukur, tak ada perlindungan nyata bagi nelayan. HNSI menjadi organisasi papan nama, bukan alat perjuangan. Bahkan pada bulan September 2023, para Ketua DPD dikumpulkan dan diarahkan utk memilih calon tunggal dalam Munas berikutnya. Oleh karena itu DPC berkeinginan adanya suasana baru di pucuk pimpinan HNSI yang dipilih secara demokratis.
“Sebagai penerima mandat teman-teman DPC dan DPD HNSI, saya lalu membentuk Panitia Munas dan menyelenggarakan Munas pada tanggal 30 - 31 Oktober 2023 di Hotel Syariah Lorin Sentul Bogor. Pimpinan Sidang dipilih dari peserta sebagaimana mestinya Munas dilakukan. Ada sidang2 Komisi yg membahas AD/ART, Program dll. Saat pemilihan Ketua Umum, muncul 2 nama yakni Anton Leonard SP dan Laksamana Sumardjono yang akhirnya dimenangkan oleh Laksamana TNI (Purn) Sumardjono. Dalam penutupan, hadir pula perwakilan dari TNI AL” papar Anton.
Data dari dokumen resmi HNSI Bogor menyebutkan sejumlah masalah akut: BBM subsidi tidak tepat sasaran dan tidak ada database terintegrasi nelayan nasional. Pemerintah tidak tahu pasti berapa jumlah nelayan, jenis kapal, strata ekonomi atau lokasi mereka. Aturan tumpang tindih pusat-daerah. Misalnya zoning penangkapan yang membingungkan dan sering tumpang tindih dengan kawasan konservasi atau kepentingan swasta.
Permasalahan akut lainnya, yakni minim jaminan sosial. Belum semua nelayan dan keluarganya terlindungi asuransi atau skema perlindungan sosial. Ancaman asing. Illegal fishing dari nelayan Thailand, Filipina, Vietnam dan Malaysia tetap terjadi. Akibatnya, 75% sumber daya ikan Indonesia sudah dieksploitasi berlebihan.
Menurut Anton, upaya revitalisasi HNSI melalui Munas Bogor ini patut diapresiasi. Sumardjono bersama Dewan Pembina Tinton Soeprapto dan para mantan KSAL mencoba membangun kembali kepercayaan publik nelayan. Program-program prioritas pun mulai dirancang, yaitu pemetaan kebutuhan BBM subsidi, penyusunan database nasional nelayan, perlindungan sosial melalui asuransi hingga penguatan koperasi nelayan.
“Namun semua itu terancam kandas hanya karena satu hal. Yakni, konflik dualisme legalitas. Dengan kondisi seburuk itu alangkah memalukan bila elit politik justru sibuk berebut kursi kepemimpinan dan menyalahgunakan instrumen hukum demi kepentingan segelintir kader partai” tandas Anton.
Tidak Cawe-cawe
Menghadapi konflik dualisme legalitas kepemimpinan HNSI ini, Menkumham saat ini, Supratman Andi Agtas telah menyatakan tidak akan “cawe cawe”.
Anton menghargai sikap Menkumham Supratman. Namun menurutnya, netralitas bukan berarti membiarkan adanya kekacauan administratif. Harus ada peninjauan ulang dan pembatalan terhadap SK bermasalah yang dikeluarkan setelah SK sah pertama demi menjamin kepastian hukum dan keberlangsungan program untuk nelayan.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) juga perlu mengambil sikap. Sebagai “bapak angkat nelayan”, KKP tidak bisa hanya menonton. Saatnya memfasilitasi penyatuan kembali HNSI dalam kepemimpinan yang sah dan profesional, bukan yang politis dan oportunis.
“Nelayan butuh satu suara, bukan dua kepengurusan. Butuh kerja nyata, bukan kompetisi jabatan. Konflik HNSI ini harus segera diakhiri demi nelayan yang selama ini terpinggirkan” tegasnya.*
Pewarta : Sumitro Hadi,SH.
Publiser : MITRAJATIM.COM
Terimakasih atas tanggapan dan komentar anda, kami team Redaksi akan menyaring komentar anda dalam waktu dekat guna kebijakan komonikasi untuk menghindari kata kata kurang pantas, sara, hoax, dan diskriminasi.
Dalam jangka waktu 1x24 jam segera kami balas
Kami tunggu saran dan kritikannya, salam !!!