Keadilan Yang Ternodai Oleh Oknum

PIMRED
Publiser ~
0
MITRAJATIM.COM
- "Keadilan yang ternodai" berarti keadilan yang telah rusak, dinodai tidak terpenuhi sebagaimana mestinya, sering kali karena penundaan, ketidakadilan prosedur, manipulasi hukum, atau ketidaksesuaian dengan moralitas dan kebenaran.


Hal ini bisa terjadi ketika proses hukum terlalu lama (molor), ada ketimpangan karena kekuasaan dan uang, ketika hukum tidak ditegakkan secara adil, maka masyarakat tidak percaya lagi pada APH.

Penyebab keadilan ternodai oknum Korupsi dan suap: Penegak hukum, atau pejabat lain yang menerima suap dapat memengaruhi putusan atau proses hukum agar menguntungkan pihak tertentu. Hal ini sering disebut sebagai 'jual beli perkara'.

  • Penyalahgunaan kekuasaan: Individu yang memiliki posisi kuat dapat menggunakan kekuasaannya di luar batas kewenangan untuk menekan pihak lain atau mengabaikan prosedur yang seharusnya, sehingga memanipulasi keadilan.

  • Tumpulnya hukum: Adanya perlakuan berbeda antara rakyat kecil dengan orang yang berkuasa atau kaya, di mana uang dapat memanipulasi hukum.

  • Profesionalisme yang kurang: Kualitas penegak hukum yang rendah dan kurangnya integritas dapat menyebabkan mereka tidak mampu menjalankan tugas secara adil dan profesional.

  • Tekanan sosial dan politik: Beberapa oknum dapat terpengaruh oleh tekanan dari pihak-pihak tertentu untuk memihak pada satu sisi, alih-alih menegakkan keadilan sejati. 
Kasus yang sering terjadi, Kasus mafia peradilan: Adanya 'mafia peradilan' yang melibatkan oknum hakim dan jaksa yang bermain mata untuk merekayasa kasus atau memanipulasi putusan hukum.

  • Tindakan main hakim sendiri oleh oknum aparat: Aparat penegak hukum yang melakukan kekerasan atau tindakan di luar prosedur terhadap masyarakat, sehingga melukai rasa keadilan publik.

  • Pelanggaran oleh aparat: misalnya, oknum polisi yang terlibat dalam kasus kejahatan atau bertindak tidak sesuai prosedur, sehingga mencoreng citra korp kepolisian.

  • Pemanfaatan celah hukum: Adanya oknum yang dengan sengaja memanfaatkan kelemahan dalam aturan hukum demi keuntungan pribadi, seperti kasus korupsi atau manipulasi pajak..

Mengatasi masalah oknum Sanksi tegas: Memberikan hukuman yang berat dan adil bagi oknum yang terbukti bersalah, termasuk pemecatan, untuk memberikan efek jera.

  • Pengawasan ketat: Memperkuat sistem pengawasan internal dan eksternal, misalnya dengan melibatkan masyarakat dalam pemantauan, agar tidak ada upaya untuk menutupi kasus.

  • Reformasi birokrasi: Melakukan perbaikan menyeluruh pada lembaga-lembaga penegak hukum untuk meningkatkan profesionalisme dan integritas para aparat.

  • Pendidikan dan sosialisasi: Meningkatkan kesadaran hukum bagi masyarakat agar berani berbicara jika mendapatkan ketidakadilan, serta memberikan pelatihan etika bagi para penegak hukum.
. 
Kasus-kasus seperti tindak pidana korupsi yang menawarkan pengembalian kerugian uang negara, atau kasus kekerasan seksual yang berakhir damai di luar pengadilan, menunjukkan pergeseran makna RJ. 


"Pengembalian aset dalam korupsi seharusnya tidak menghapus pidana, dan “perdamaian” dalam kekerasan tidak dapat memulihkan trauma korban. Fenomena ini membuktikan bahwa RJ, yang seharusnya menjadi pedoman humanis dalam kasus ringan, malah menjadi alat de-kriminalisasi instan dalam kasus yang memerlukan sanksi pidana dan  pertanggungjawaban publik yang tegas.


Paradoks lain terlihat pada kasus ringan seringkali, RJ hanya dapat diakses oleh pihak yang memiliki daya tawar tinggi, seperti tokoh publik atau mereka yang mampu membayar kompensasi besar.


Tujuannya adalah pertanggungjawaban, rekonsiliasi, dan pemulihan, yang harus dicapai melalui dialog korban-pelaku yang seimbang. Ketika RJ dipaksakan atau digunakan semata-mata untuk mengurangi beban perkara (dossier) tanpa melibatkan partisipasi aktif korban, esensi pemulihan dan rekonsiliasi itu sendiri telah tercederai, menjadikan proses damai itu tidak adil.


kasus-kasus yang menimbulkan dampak serius terhadap masyarakat, misal korupsi skala besar, atau kasus yang memiliki imbalance of power tinggi, misal kekerasan berbasis gender, sebagaimana diamanatkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru (UU No. 1 Tahun 2023). Pengetatan ini akan melindungi integritas konsep RJ.


"Selain pengetatan regulasi, faktor pengawasan dan transparansi harus diperkuat.Perlu dibentuk komite independen yang melibatkan akademisi, tokoh masyarakat, dan lembaga korban untuk mengaudit proses keputusan RJ dalam kasus-kasus sensitif.


Transparansi ini penting untuk memastikan bahwa RJ tidak menjadi pintu belakang bagi impunitas, melainkan menjadi proses yang benar-benar akuntabel dan berorientasi pada pemulihan hak-hak korban.


Keadilan Restoratif adalah jalan maju dalam reformasi hukum pidana Indonesia. Namun, keberhasilannya sangat bergantung pada komitmen penegak hukum untuk memegang teguh semangat pemulihan dan bukan hanya perdamaian administratif.


Jika RJ terus menerus disalahgunakan untuk menutupi kejahatan serius atau diintervensi oleh kepentingan, maka keadilan restoratif akan kehilangan legitimasi dan hanya akan menjadi alat legal baru yang menegaskan kembali hukum yang tajam ke bawah dan tumpul ke atas.(Red- MJ)

Posting Komentar

0Komentar

Terimakasih atas tanggapan dan komentar anda, kami team Redaksi akan menyaring komentar anda dalam waktu dekat guna kebijakan komonikasi untuk menghindari kata kata kurang pantas, sara, hoax, dan diskriminasi.
Dalam jangka waktu 1x24 jam segera kami balas
Kami tunggu saran dan kritikannya, salam !!!

Posting Komentar (0)